Ketidakadilan Gender

Sumber : pinterest.com

Ketidakadilan gender merupakan bentuk pembedaan perlakukan berdasarkan alasan gender. Ketidakadilan gender bisa dialami oleh laki-laki maupun perempuan. Namun, saat ini perempuan lebih banyak mengalami ketidakadilan dibanding laki-laki. Akibatnya, terjadi pembatasan peran terhadap perempuan.

Penyebab ketidakadilan gender di Indonesia karena ada budaya yang menempatkan laki-laki pada posisi sebagai satu-satunya yang memiliki wewenang dalam masyarakat atau disebut patriarki. Budaya ini juga terjadi pada tingkat yang lebih luas seperti dalam bidang politik, pendidikan, ekonomi, sosial, dan hukum. Budaya patriarki menjadi akar terjadinya dominasi (penguasaan) laki-laki terhadap perempuan.

Penempatan laki-laki sebagai satu-satunya yang memiliki kekuasaan utama yang dominan dalam berbagai peran; kepemimpinan, politik, modal, moral, hak sosial dan kepemilikan tanah (properti) menjadikan ketidakadilan gender semakin langgeng. Akhirnya, perempuan hanya dianggap sebagai kelompok pengabdi dan segala sesuatu yang dilakukan oleh perempuan kurang dihargai atau tidak diperhitungkan.

Dalam tingkat individu, patriarki adalah penyebab munculnya berbagai kekerasan yang dialami oleh perempuan. Budaya patriarki akan terus ada jika kita semua tidak berusaha mengubahnya. Sejak dahulu, budaya patriaki sudah muncul dan dilakukan sejak kecil. Contohnya, anak laki-laki diberikan mainan mobil-mobilan dan anak perempuan bermain boneka.

Di bawah ini adalah bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang sering dialami perempuan.

sumber : foto student-activity-binus-ac-id
  1. Pelabelan (Stereotype)

Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin. Stereotip selalu menimbulkan kerugian dan menimbulkan ketidakadilan (khususnya bagi perempuan). Misalnya: karena masyarakat selalu memiliki anggapan bahwa perempuan lemah dan harus dilindungi dari segala ancaman kekerasan, maka berbagai upaya dilakukan untuk membatasi ruang gerak perempuan dalam mengekspresikan dirinya, misalnya cara berpakaian diatur, jenis pekerjaan maupun keberadaan diruang-ruang publik dibatasi hanya pada waktu-waktu tertentu yang ”dianggap aman”.

  1. Peminggiran marginalisasi

Proses yang mengakibatkan perempuan tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya. Marginalisasi pada perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dan dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya sebagian budaya maupun sebagian tafsir keagamaan memberi tempat yang berbeda atas peran perempuan sebagai pemimpin keagamaan atau pemimpin keluarga dan masyarakat.

  1. Subordinasi

Salah satu jenis kelamin diposisiikan atau dianggap lebih penting, dan yang lainnya lebih rendah dibanding jenis kelamin lain – Perempuan Lebih rendah dari Laki-laki.

  1. Beban Ganda

Adanya pembagian peran kerja domestik dan kerja publik tanpa disertai dengan pembagian peran yang adil. Ada anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggungjawab kaum perempuan. Bahkan bila perempuan bekerja di ranah publik pun, konsekuensinya harus bertanggung jawab atas semua pekerjaan domestik, kebersihan rumah hingga mengasuh anak.

  1. Kekerasan

Kekerasan merupakan segala bentuk perbuatan yang dilakukan terhadap perempuan yang mengakibatkan penderitaan fisik, psikis, ekonomi, seksual, baik yang dilakukan secara langsung maupun online (daring).

Kesetaraan gender merujuk kepada suatu keadaan setara antara laki-laki dan perempuan dalam pemenuhan hak dan kewajiban. Istilah Gender digunakan untuk menjelaskan perbedaan peran perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan. Gender adalah pembedaan peran, kedudukan, tanggung jawab, dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Gender tidak sama dengan kodrat. Kodrat adalah sesuatu yang ditetapkan oleh Tuhan YME, sehingga manusia tidak mampu untuk merubah atau menolak. Sementara itu, kodrat bersifat universal, misalnya melahirkan, menstruasi dan menyusui adalah kodrat bagi perempuan, sementara mempunyai sperma adalah kodrat bagi laki-laki.

Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia. Ini adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga di mana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.

Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang, mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam rangka untuk memberdayakan masyarakat (semua orang)-perempuan dan laki-laki-untuk mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Pembangunan ekonomi membuka banyak jalan untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam jangka panjang. Agenda Tujuan Pembangunan  Berkelanjutan memiliki makna yang penting karena setelah diadopsi maka akan dijadikan acuan secara global dan nasional sehingga agenda pembangunan menjadi lebih fokus. Setiap butir tujuan tersebut menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan untuk mencapai kesetaraan gender dan  pemberdayaan perempuan, baik tua mau-pun muda.