Rokok Kretek TingWe (Linting Dewe)

Ketika cukai rokok sigaret semakin naik tinggi dan berpengaruh pada harga rokok kemasan di pasaran. Cukai rokok semakin tinggi maka berbanding lurus dengan harga rokok kemasan semik mahal. Melihat kondisi seperti ini maka tembakau linting menjadi alternatif bagi konsumen rokok tembakau. Kios-kios tembakau dengan berbagai aroma dan rasa banyak muncul bertebaran bagai cendawan tumbuh di musim hujan. Mulai dari pinggiran kota kecil hingga kota besar bahkan sampai ibukota negara. Harga dan kuantitas yang sangat kompetitif dibandingkan dengan rokok sigaret kemasan bermerk pabrikan adalah salah satu alasan mengapa beralih ke rokok TingWe alias linting dewe. Keberadaan rokok kretek di Nusantara Indonesia tidak ada catatan sejarah pasti kapan mulai ada dan eksisnya.

Legenda

Rokok linting sudah ada dalam cerita rakyat klasik dari abat 17. Merupakan salah satu cerita dari Babad Tanah Jawi. Kisah ini menceritakan hidup tragedi cinta dari seorang perempuan cantik bernama Rara Mendut dari pesisir Kadipaten Pati (saat ini Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah) pada jaman pemerintahan Sultan Agung.

Dikisahkan karena kecantikan Rara Mendut yang sangat mempesona dan mampu menggetarkan hasrat kaum laki-laki termasuk Adipati Pragola penguasa Kadipaten Pati dan juga Tumenggung Wiraguna sang Panglima Perang Sultan Agung.

 Namun Rara Mendut bukanlah perempuan lemah dan takut pada penguasa juga kaya harta. Rara Mendut berani menolak keinginan Tumenggung Wiraguna yang berminat meminang memilkinya. Bahkan dia berani terus terang menunjukkan cinta setianya pada pria kekasihnya yakni Pranacitra. Tumenggung Wiraguna sangat murka dan iri karena cintanya ditolak Rara Mendut. Oleh sebab itu Rara Mendut diharuskan membayar pajak tinggi kepada Kerajaan Mataram.

Rara Mendut harus berpikir ekstra kuat dan bertindak cepat untuk segera mendapatkan uang guna membayar beban pajak yang tinggi tersebut. Sadar akan kecantikannya yang memukau dan mempesona semua orang khususnya kaum laki-laki maka dia memutuskan untuk berjualan rokok linting. Rokok linting yang dihisap dia jual dengan harga mahal kepada pembeli dan yang lebih mahal lagi yakni rokok linting yang dibuat dengan lem ludah dan jilatan erotisnya. Akhir cerita Rara Mendut dan kekasihnya Pranacitra memilih mati bersama demi mempertahankan cinta mereka.

Sejarah Rokok Kretek di Nusantara

Abad 17 catatan tentang tembakau sudah ada di Indonesia. Catatan sejarah tentang kebiasaan penggunaan tembakau di Indonesia sangat terbatas dan saling bertentangan satu sama lain. Seperti tersirat dalam catatan sejarah Babad Tanah Jawi dimana kebiasaan merokok tembakau sudah masuk dalam kehidupan masyarakat kala itu.

Menurut Sir Thomas Stanford Raffles dalam bukunya The History of Java (1817) dikatakan bahwa tembakau telah masuk ke pulau Jawa bersamaan dengan mangkatnya Panembahan Senopati (Raja Pertama Keraton Mataram) pada tahun 1523 Saka atau sekitar tahun 1602 Masehi.

Selanjutnya, menurut catatan Rumphius, bahwa sekitar tahun 1650 areal tanaman tembakau berskala luas telah ditemukan di daerah Kedu, Bagelan, Malang, dan Priangan (Subangun, Tanuwidjojo).

Proses kelahiran industri sigaret tidak dapat dipisahkan dari kisah bersejarah Haji Djamari, seorang penduduk asli kota Kudus, mengaku sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Setelah itu, sakitnya pun berangsur pulih. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Rokok formula Haji Djamari terdiri dari cengkeh yang dirajang sampai halus, kemudian dicampur dengan tembakau yang pada mulanya digunakan untuk pengobatan dengan cara menghisap asapnya sampai masuk ke dalam paru-paru.

Permintaan “rokok obat” ini pun mengalir. H. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek”, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok kretek”. Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang.

Sepuluh tahun kemudian, penemuan Haji Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industri rokok di Kudus. Pada awalnya, Nitisemito mencoba mengusahakan rokok kretek secara kecil-kecilan yaitu dengan jalan melinting dan menjualnya sendiri.

Usaha yang dirintis Nitisemito bermula dari pertemuannya dengan Nasilah, pemilik warung yang biasa menjadi tempat tongkrongan para kusir dokar. Nitisemito kala itu menjadi kusir dokar setelah jatuh-bangun dalam usaha dan pekerjaan yang dia lakoni sebelumnya.

Nasilah kala itu menyediakan rokok kelobot untuk menggantikan kebiasaan nginang para kusir dokar yang biasa mangkal di warungnya. Nginang adalah sebutan dari tradisi makan sirih yang diramu dengan kapur, gambir, dan buah pinang. Nasilah tidak terlalu suka warungnya dibuat kotor oleh sampah sepahan rempah nginang para kusir dokar. Dia menyuguhkan rokok kretek yang dibungkus kelobot untuk pengganti nginang para kusir. Kretek buatan Nasilah banyak disukai oleh para kusir dan pedagang keliling, termasuk salah satu penggemarnya adalah Nitisemito.

Cara penjualannya dilakukan di pinggi-pinggir jalan, sedangkan cara penyajiannya dilakukan dengan cara mengiris cengkeh dengan pisau di tempat penjualan kemudian dicampur dengan tembakau ke dalam gulungan (kobot).

Pada masa-masa berikutnya, pengirisan cengkeh tersebut dilakukan di rumah dan langsung dicampurkan ke dalam gulungan (klobot) rokok tersebut. Banyaknya pelanggan yang membeli rokok Nitisemito maka semakin berkembang pula usaha rokoknya.

Melihat usaha rokoknya semakin berkembang, maka diberikan label pada pembungkusnya. Cara tersebut dilakukan Nitisemito pada saat memulai usaha rokok. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito antara tahun 1903-1905, dan pada tahun 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek Tjap Bal Tiga.

Akhirnya industri yang semula bersifat kerajinan tangan lalu menjadi industri rumahan (home industry) dan lambat laun berubah menjadi perusahaan bahkan industri besar dan menjadi pilar utama bagi sumber pendapatan kota Kudus.

Rokok Kretek Linting Masa Kini

Dahulu, bahkan mungkin hingga saat ini, citra yang timbul saat melihat sejumput tembakau, kertas linting, cengkeh kering, yang dilinting menjadi lintingan kretek yang biasa disebut Tingwe (Ngelinting Dewe), adalah kuno, tua, dan segala hal yang melekat dengan nuansa jadul-jadul lainnya. Jika dulu aktifitas melinting rokok akrab dengan orang tua, sekarang justru tidak hanya kalangan orang tua tetapi juga digemari oleh banyak kalangan muda. Aktivitas melinting justru jadi tren di kalangan masyarakat belakangan ini. Toko-toko tembakau modern dari skala kios kecil hingga kedai besar pun sering dijumpai, meski tidak banyak.

Bagi para tingwe lovers, menikmati rokok hasil lintingan sendiri tentu memiliki nilai lebih. Kenikmatannya ada dalam tingkatan lain, karena mereka bisa memilih sendiri jenis tembakau apa dan racikan yang mereka mau. Belum lagi bisa menambahkan “bumbu” sendiri sebelum dilinting dan dihisap.

Selain alasan itu, merokok tembakau lintingan juga bisa jadi opsi karena harga rokok saat ini selalu naik sangat signifikan. Tidak hanya satu-dua orang yang bilang jika menggunakan rokok tingwe, bisa lebih hemat dalam pengeluaran kebutuhan harian. Memang soal harga dan perolehan kuantitas rokok lintingan sangat jauh berbeda. Misalnya harga sebungkus rokok merek prabrikan isi 20 batang jika dikonversi dengan tembakau linting maka dapat memnghasilkan 80 batang hingga 100 batang.

Dua tahun terakhir, tingwe kian meningkat pamornya. Alasannya, harga rokok kemasan semakin melambung tinggi. Tren ini mencuat dengan “tampilan” yang lebih baru; kios tembakaunya modern, pemiliknya juga rata-rata masih tergolong muda. Tetapi tingwe kini menjadi fenomena yang cukup tren di kalangan anak muda. Budaya melinting rokok sendiri bagi orang muda sudah bukan lagi hal tabu. Celotehan yang menganggap tingwe itu budaya kampungan atau pula budaya jadul, sudah tak berarti lagi. Seperti kita ketahui, fenomena tingwe ini muncul akibat pandemi Covid – 19 yang terjadi dan kenaikan harga cukai rokok merek pabrikan saat ini.

.Gelombang baru pencinta tingwe ini memang sebaiknya menjadi momentum yang dimanfaatkan betul untuk mengenalkan tembakau lokal di kalangan anak muda. Jangan sampai tren ini hanya sebatas bara di sebatang rokok: membara saat diisap, tapi hanya jadi asap dan abu saat diembus.

Mengingat sejarah panjang para petani tembakau di negara kita yang jatuh bangun hingga terpuruk kehilangan spirit, dengan ramainya fenomena tingwe ini semoga memberi harapan baru dan dapat membuka pasar bebas tembakau lokal secara luas. Jika dibandingkan dengan situasi selama ini dimana para petani tembakau sangat tergantung dengan keberadaan pabrik pabrik rokok konvensional bermerek yang menguasai pasar rokok nasional. Harga jual tembakau baik daun tembakau lembaran atau rajangan yang sangat fluktuatif, tidak memungkinkan melawan untuk mendapatkan harga yang pantas. Sedangkan saat ini, petani menilai lebih tertarik menjual langsung karena pangsa pasar yang terbuka dan sangat ramai tidak seperti sepuluh atau dua puluh tahun lalu.

Bukan tak mungkin, rokok tingwe kelak akan menjadi gaya hidup bagi anak-anak muda. Terlepas dari itu semua, budaya tingwe di kalangan anak muda telah menyuburkan pula satu peluang usaha baru. Tingwe bukan semata opsi dan solusi bagi perokok, namun juga menjadi sumber penghasilan tambahan bagi kedai-kedai kopi, kios-kios tembakau dan khususnya bagi para petani tembakau.

Semoga dengan sekilas gambaran tentang sejarah rokok Tingwe ini dapat membuka wawasan, pemikiran jernih ke depan serta kebangkitan ekonomi mikro masyarakat menjadi lebih baik.

Roll your fingers and be greatful for what you got – Tingwe Lovers